Suporter masuk ke lapangan pasca-Arema kalah dari Persebaya dengan skor 2-3 hingga terjadilah tragedi yang menewaskan ratusan orang. (Foto: Avirista Midaada/iNews)

BANDUNG, iNews.id - Insiden di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan lebih dari 125 orang, membuat prihatin. Pertandingan sepak bola yang sedianya hiburan, justru menimbulkan kesedihan mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.

Lalu kenapa sepak bola kerap memicu insiden kerusuhan dengan banyak suporter menjadi korban? 

Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Hery Wibowo mengatakan, suporter menjadi organ yang tidak terpisahkan dalam dunia sepak bola. Suporter suatu klub sepak bola merupakan identitas sosial membanggakan dan mampu meningkatkan citra diri.

“Ini adalah identitas sosial yang mampu meningkatkan ‘status’ atau bahkan ‘harga diri’ pada konteks kehidupan bermasyarakat. Dari anggota masyarakat yang ‘bukan siapa-siapa’, seseorang dapat merasa menjadi ‘seseorang atau warga negara berstatus menengah’ dengan menjadi supporter aktif (fanbase) dari klub tertentu,” kata Hery dikutip dari Kanal Media Unpad. 

Karena itu, ujar Hery, militansi suporter sangat terlihat ketika klub idola bertanding. Apalagi saat ini pertandingan sepak bola kembali diperbolehkan untuk ditonton secara langsung di dalam stadion. 

Kondisi ini juga terlihat dari membludaknya penonton laga Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan yang konon melebihi jumlah tiket dicetak. Keberadaan suporter di stadion memiliki dinamika tersendiri. 

Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah potensi menghasilkan perilaku crowd alias gerombolan atau crowd behavior. Perilaku ini merupakan fenomena ketika sejumlah orang yang berkumpul dalam suatu kerumunan khusus akan berpotensi menghasilkan perilaku yang tidak akan terjadi pada situasi normal. 

"Fenomena ini merupakan perilaku individu yang memicu perilaku kolektif," ujar Ketua Program Studi Sarjana Sosiologi FISIP Unpad tersebut. 

Seseorang dalam menghasilkan crowd behavior akan memiliki keberanian semu yang mampu memicu keberanian kolektif lainnya. Seorang individu akan merasa sangat berani dan kuat (powerfull), merasa benar, dan tanpa ragu melakukan suatu tindakan. 

“Seorang individu dalam crowd akan cenderung merasa ‘berkali-kali lipat lebih berani’ dalam melakukan sesuatu yang ada di pikirannya. Dia (supoter) tidak ragu-ragu dalam melakukan niat. Hal dapat terjadi karena dia merasa “akan” didukung oleh kelompoknya dalam segala tindakan,” tuturnya. 

Hery Wibowo mengatakan, kekalahan Arema FC, memicu pendukung menghasilkan perilaku crowd. Hal ini dapat terjadi karena suporter telah menganggap tim sebagai identitas sosial ataupun konsep diri mereka. 

Maka, ketika sesuatu terjadi atau menimpa tim, seakan menyentuh harga diri (self esteem) ataupun sisi batin terdalam pendukungnya. 

“Sehingga secara umum, kekesalan hingga kemarahan akan dapat mudah tersulut, karena jiwa dan pikiran suporter selalu berhubungan dengan tim dan seluruh dinamikanya. Seperti bagian tubuh yang lengkap, jiwa ujung jari terasa sakit, maka dirasakan oleh seluruh anggota badan yang lainnya,” ucap Hery Wibowo. 

Karena itu, potensi crowd behavior, ujar Hery, seyogianya perlu diredam sedini mungkin dengan tata kelola atau pun manajemen pertandingan yang baik. Namun, antisipasi yang dilakukan bukan berarti harus anarkistis. 

Di sisi lain, sistem pertandingan lapangan, baik penyelenggara, pemain, dan pengadil harus menjunjung tinggi sportivitas. Penegakan sportivitas dan penyelenggaraan pertandingan yang baik diharapkan dapat menularkan semangat sportivitas ke suporter. 

“Penonton wajib terus diedukasi untuk menerima ‘kemenangan dan kekalahan’. Pertandingan yang berjalan sportif, akan dapat diterima baik oleh pendukung tim yang menang ataupun yang kalah,” kata Hery.


Editor : Agus Warsudi

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network