Pegi Setiawan akhirnya menghirup udara bebas setelah hampir dua bulan ditahan menjadi korban salah tangkap kasus kematian Vina.. (Foto: MPI)

JAKARTA, iNews.id – Penangkapan dan penahanan Pegi Setiawan dalam kasus kematian Vina Dewi serta Muhammad Rizky alias Eki di Cirebon menambah panjang daftar salah tangkap polisi. 

Pada persidangan praperadilan, hakim memutus Pegi bebas karena tak ditemukan bukti buruh bangunan itu sebagai pembunuh.

Jauh sebelum Pegi, kasus salah tangkap terjadi beberapa kali. Paling ikonik dan menjadi sejarah kelam penegakan hukum di Indonesia tentu saja Sengkon dan Karta asal Bekasi. Bukan cuma mereka, ada pula Oman Abdurahman, hingga trio Kemat, Devid, dan Maman di Jombang.

Baru-baru ini muncul pula kasus salah tangkap di Bogor. Pasangan suami istri penjual keripik Subur-Titin digelandang polisi atas dugaan perampokan. Dari banyak kasus di berbagai daerah itu, tak pelak sorotan bermunculan.

Pertanyaannya, mengapa kekeliruan itu terus berulang? Sedemikian rumitkah penyelidikan pembunuhan, atau jangan-jangan ada ketidakcakapan beberapa polisi kita dalam menangani persoalan?

Pegi Bebas, Siapa Pembunuh Vina?

Tok! Palu hakim sidang praperadilan Pengadilan Negeri Bandung diketuk kencang, Senin 8 Juli 2024. Bagi Pegi, itu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Putusan yang sangat dinanti dan diharapkannya. Asa itu akhirnya terkabul. 

Hakim mengabulkan permohonannya untuk membatalkan status tersangka pembunuhan Vina Cirebon. Pegi akhirnya menghirup udara bebas. Dia keluar dari Rumah Tahanan (Rutan) Polda Jabar pada Senin malam hari itu juga.

"Saya mengucapkan syukur dan berterima kasih atas semua yang mendukung dan mendoakan saya,” kata Pegi.

Tak dimungkiri, kebebasan itu seperti bom kelegaan yang meledak atas kesimpangsiuran dan misteri kasus kematian Eki-Vina. Sejak awal Pegi mengaku tak bersalah. 

Infografis Pegi Setiawan Bebas, Status Tersangka Batal demi Hukum

Senyampang, penangkapannya oleh penyidik Polda Jabar pada Selasa, 21 Mei 2024 juga dinilai penuh kejanggalan. Polisi terkesan asal mendapatkan tersangka untuk meredam tekanan publik.

Putusan praperadilan itu seperti menegaskan bahwa polisi memang salah tangkap. Pegi tak terbukti membunuh Eki dan Vina Cirebon. Siapa pelakunya, sampai sekarang belum terkuak. 

Daftar Kasus Salah Tangkap

Pegi bukan satu-satunya korban salah tangkap polisi. Sejarah mencatat banyak orang harus menderita karena penanganan penyidik kepolisian. Mereka dituduh sebagai pelaku, ditetapkan tersangka hingga ditahan atas berbagai kasus pidana. Namun fakta akhirnya membuka mereka tak bersalah.

Daftar kasus salah tangkap itu antara lain kasus Sengkon dan Karta, dua petani asal Bekasi. Mereka ditangkap polisi atas kasus perampokan disertai pembunuhan pasangan Sulaiman-Siti Haya pada 1974. Di persidangan pada 1977, Sengkon diganjar 12 tahun dan Karta 7 tahun penjara.

Nasib Sengkon-Karta pilu karena harus melalui hari-hari di balik jeruji besi LP Cipinang. Setelah beberapa tahun menjalani hukuman, pembunuh Sulaiman-Siti Haya mengakui perbuatannya. Sosok itu tak lain Gunel, yang masih kerabat Sengkon.

Salah tangkap juga menimpa Oman Abdurahman, marbot (penjaga) masjid di Balaraja, Kabupaten Tangerang. Pada 22 Agustus 2017 dia digelandang polisi berpakaian preman dengan tuduhan sebagai pelaku perampokan di Lampung Utara, tiga bulan sebelumnya.

Nahas, dalam pemeriksan kaki Oman bahkan ditembus peluru panas polisi agar mengaku. Betapa pun Oman mengelak, dia tetap merasakan hari-hari kelam di penjara. Putusan praperadilan Kotabumi Lampung Utara akhirnya memenangkan Oman. Dia dinyatakan tak bersalah pada 2018.

Pernah juga sengsara dan derita dialami Kemat, David dan Maman asal Jombang, Jawa Timur. Mereka ditangkap atas tuduhan membunuh pria yang awalnya diidentifikasi sebagai M Asrori. Jasat ‘Asrori’ ditemukan di kebun tebu Desa Braan pada 2008.

Trio Kemat, Devid dan Maman jadi tersangka. Mereka dijebloskan ke bui. Kasus ini juga bergulir ke pengadilan hingga jatuh vonis. Persoalannya, belakangan terkuak bahwa pembunuh berantai Very Idham Henyansah alias Ryan mengaku telah membunuh Asrori.

Pegi Setiawan dalam program Interupsi, Kamis (11/7/2024). (Foto tangkapan ayar).

Menurutnya, mayat Asrori dipendam di belakang rumahnya. Terkuak pula, mayat di kebun tebu belakanga dipastikan sebagai Fauzin Suyanto asal Nganjuk. Kemat cs juga tidak tahu-menahu kematian itu. Melalui jalan panjang berliku yang ditempuh dengan bantuan advokat OC Kaligis, Slamet Yuono dkk, mereka akhirnya bebas.

Profesionalisme Polri

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengkritik keras penanganan polisi dalam kasus pembunuhan Vina. Penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka juga dianggapnya cacat.

"Salah tangkap itu menunjukkan bahwa aparat kepolisian tidak professional. Kalau dia profesional dia (polisi) pasti menaati prosedur," kata Sugeng kepada iNews.id, Sabtu (13/7/2024).

Kriminolog Universitas Indonesia Dr Wiendy Hapsari menuturkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI menyebutkan bahwa polisi memiliki tiga peran yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, pemelihara kamtibmas, dan penegak hukum.  Terjadinya kasus salah tangkap tentu bersebarangan dengan peran yang sudah ditetapkan tersebut.

Kasus demikian, kata dia, menjadi peringatan (warning) bagi kepolisian untuk melakukan evaluasi terhadap profesionalitas, khususnya  pada proses penyelidikan serta penyidikan. Terlebih repetisi kasus ini harus diakui telah berimbas terhadap trust masyarakat terhadap institusi Polri. 

Wiendy menganalisis, kasus salah tangkap bisa terjadi karena banyak faktor. Bisa saja kekeliruan polisi karena keterbatasan waktu. “Sementara desakan publik juga sangat kuat menuntut  penuntasan kasus sesegera mungkin. Di sisi lain , bukti yang ada juga tidak cukup kuat untuk menyeret pelaku,” tuturnya.

Lantas bagaimana menyikapi? Menurut dia, kultural di tubuh Polri menjadi perhatian utama. Beberapa langkah misalnya dengan terus meningkatkan  kualitas dan profesionalitas  SDM polri dengan optimalisasi pendidikan polri serta mengefektifkan komisi etika di tubuh Polri. 

Pun langkah ini  perlu didukung  dengan adanya fungsi pengawasan. Untuk pengawasan ini,  setidaknya perlu ada 3 elemen yang terlibat. “Saya menyebutnya dengan  istilah triple helix, yaitu kolaborasi pengawasan dari  internal Polri sendiri, unsur masyarakat serta media massa sebagai watchdog,” ujarnya.

Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro menegaskan, akan tunduk kepada putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang mengabulkan gugatan praperadilan Pegi Setiawan. Putusan itu sekaligus menjadi bahan evaluasi Polri.

"Ini tentu saja menjadi evaluasi kita bersama, kita juga melihat evaluasi-evaluasi terhadap penyidik-penyidik yang ada, bagaimana proses itu," kata Djuhandhani di Mabes Polri, Jakarta, dikutip Selasa (9/7/2024).


Editor : Kastolani Marzuki

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network