PURWAKARTA, iNews.id - Harga kacang kedelai tembus Rp1,1 juta per kuwintal. Kenaikan harga bahan dasar makanan dari Asia Timur seperti susu, kecap, tahu dan tempe ini dirasa menjadi yang paling tinggi dalam sejarah usaha pengolahan tanaman jenis polong-polongan tersebut.
"Kenaikan harga kedelai ini sudah terjadi sejak tiga bulan terakhir. Harganya terus naik dari sebelumnya Rp700.000 per kwintal," ujar H Adis (40) seorang perajin tahu tempe di Jalan Purnawarman, Kabupaten Purwakarta, Minggu (30/5/2021).
Tingginya harga kedelai membuat perajin tahu dan tempe menjerit. Mereka juga mengaku bingung untuk menyiasati kenaikan harga bahan dasar pembuatan tahu dan tempe tersebut. Bahkan, sejak beberapa hari terakhir, para perajin sempat mogok produksi sebagai aksi protes atas kenaikan kedelai.
"Mogok produksi yang dilakukan berdasarkan hasil rapat bersama para perajin tahu dan tempe se-Jawa Barat di Bandung pada hari Sabtu lalu," katanya.
Sebagai perajin tempe dan tahu, dia pemerintah turun tangan menengahi kenaikan harga kedelai. Dia khawatir harganya semakin tidak terkendali dan menyebabkan perajin gulung tikar.
"Harga saat ini tembus Rp1,1 juta per kwintal. Ini bisa dibilang harga tertinggi dalam sejarah loh," katanya.
Dengan kenaikan harga kedelai ini, sebelumnya para perajin harus memutar otak dengan memperkecil ukuran tahu dan tempe. Hal ini harus dilakukan meski berisiko pada pasar, seperti kehilangan konsumen. Begitu juga, jika harganya dinaikan tahu dan tempe bisa kehilangan pasar.
"Ukuran yang diperkecil juga menyebabkan tahu dan tempe mudah hancur. Jika sudah hancur, masyarakat jelas tidak mau beli," ucapnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Koperasi, UMKM, Perdagangan dan Perindustrian Purwakarta Karliati Djuanda mengatakan, persoalan kenaikan harga kedelai ini tengah dibahas dan sudah dirapatkan di tingkat Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Dia masih menunggu arahan pemprov terkait persoalan tersebut. Sebab diakui atau tidak, UMKM kerajinan tahu dan tempe menjadi salah satu bagian penunjang ekonomi masyarakat.
"Kalau soal pengendalian harga kedelai ini sebetulnya ranah Dinas Pertanian karena ada bidang ketahanan pangan dan kerawanan pangan. Kami lebih pada UMKM-nya, ya. Kami harap persoalan ini segera ditemukan solusi sehingga tidak berdampak negatif pada keberadaan UMKM tempe dan tahu di Purwakarta," katanya.
Saat ini diakuinya, perajin tempe dan tahu memang mengandalkan kedelai impor lantaran stok lokal masih terbatas. Bahkan harga kedelai impor juga dianggap lebih stabil.
"Saat ini saja di Purwakarta luas tanam kedelai masih minim, yakni di bawah 500 hektare. Itu pun mereka lebih memilih memanen kedelai muda sebagai kacang rebus, dibanding dijual untuk bahan baku tempe atau tahu," tuturnya.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait