Sosok alien digambarkan sebagai makhluk hidup yang menghuni planet lain. Foto/Istimewa

BANDUNG, iNews.id - Sejak lama manusia meyakini bahkan berimajinasi ada kehidupan lain di luar angkasa. Imajinasi tentang alien dan unidentified flying object (UFO) pun laris manis ditonton orang.

Namun apakah benar ada kehidupan lain di luar angkasa, di luar tata surya kita? Seberapa besar kemungkinannya? Dalam bentuk apakah kehidupan lain itu? Apakah kehidupan lain itu lebih cerdas dan sempurna dari manusia atau sebaliknya terbelakang? Bagaimanakah sosok mereka, lucu atau menyeramkan?

Ratusan pertanyaan tentang misteri dan bentuk kehidupan lain di luar angkasa selain di Bumi, tentu menggelitik rasa ingin tahu kita. Namun apakah kehidupan lain yang dimaksud para astronom sama seperti di film-film?

Berikut penjelasan pakar astronomi Dr Hakim L Malasan, dosen dan staf Kelompok Keilmuan (KK) Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dr Hakim L Malasan mengatakan, pertama yang harus diluruskan adalah, masyarakat selalu mengkonotasikan kehidupan di planet lain selain Bumi itu, identik dengan alien dan unidentified flying object (UFO).

"Sebenarnya, tidak berkait dengan dua objek itu (UFO dan alien). Para astronom, umumnya tidak percaya dengan keberadaan alien dan UFO karena belum terbukti eksistensinya secara ilmiah. Manusia belum pernah bertemu dengan alien atau UFO," kata Kepala Observatorium Astronomi Institut Teknologi Sumatera (Itera) Lampung ini.

Namun, ujar Hakim, riset tentang keberadaan kehidupan lain di Tata Surya, terutama planet lain di Galaksi Bima Sakti, terus dilakukan secara ilmiah.

Sebab, secara ilmiah, para ilmuwan astronimi percaya ada "kemungkinan" kehidupan lain di luar angkasa. Namun bukan didasarkan atas bahwa manusia pernah bertemu atau tidak dengan makhluk hidup di planet lain itu.

Kehidupan di luar angkasa, bisa berbentuk organisme, bakteri, hewan bersel tunggal, dan lain-lain. Kehidupan yang dimaksud dimungkinkan hidup di planet lain serupa Bumi yang memiliki air, oksigen, dan atmosfer di luar angkasa. Jadi, ada materi-materi organik dan kimia yang mendukung kehidupan organisme tersebut.

Berangkat dari premis bahwa, galaksi Bima Sakti terisi satu triliun bintang. Katakanlah 1 persen saja dari bintang-bintang tersebut, kata Hakim, di galaksi kita itu seperti matahari dengan rangkaian planet di sekitarnya, maka logikanya, bintang tersebut menghosting planet-planet di sekitarnya.

"Itu yang menjadi dasar, 30 tahun lalu, tahun 1985, dua ilmuwan dari Prancis yang dapat Nobel, Dugenoy dan Mayor menginisiasi satu topik untuk riset yang intinya mencari planet. Planet dulu yang dicari," ujar Hakim.

Kemudian, Dugenoy dan Mayer berhasil mendapatkan planet pertama ekstrasolar di luar tata surya, Bintang 51 Pegasi. Temuan ini mendorong ilmuwan-ilmuwan astronomi lain di seluruh dunia mencari planet lain di luar tata surya kita dengan berbagai metode.

"Seperti yang disinggung di Lapan (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) disebut dengan metode transit, ya. Seperti itu. Tapi sebetulnya ada metode lain di samping itu," tutur dia.

Jadi sebetulnya, survei tentang keberadaan planet lain yang dimungkinkan dihuni makhluk hidup yang dilakukan astronom sudah mendapatkan sekitar 4.000-5.000 planet extrasolar system atau planet di luar tata surya.

"Mungkin dari sekitar 4.000-5.000 planet ektrasolar itu, sekitar 1 persen sudah dikaji dan merupakan planet-planet yang ada di hibitable zone (wilayah laik huni makhluk hidup)," ungkap Hakim.

Habitable zone itu, kata Hakim, planet yang dimana memungkinkan ada habitat kehidupan. Misalnya, planet yang memiliki jarak sama seperti Bumi dengan matahari. Kemudian memiliki air dan atmosfer.

Kehidupan itu, ujar dia, tidak bisa diartikan seperti kehidupan sesempurna manusia. Manusia adalah salah satu bentuk kehidupan yang paling sempurna. Karena unsur kimia yang sangat lengkap.

"Tapi dari definisi ilmiah, kehidupan itu bisa dimulai dari virus, bakteri, makhluk-makhluk bersel tunggal yang menandakan kehidupan. Nah untuk menelaah kehadiran kehidupan semacam itu secara astronomi sangat bisa. Jadi secara ilmiah, Lapan, tujuan akhirnya adalah mencoba mencari dan mengidenfikasi adanya kehidupan di extrasolar planet, melalui instrumen yang mereka beli," ujar dia.

Pakar astronomi ITB, Dr Hakim L Malasan. Foto/ITB.ac.id

Sebenarnya, program mencari kehidupan lain di luar tata surya bukan proyek Lapan, tetapi nasional. Namun Lapan sebagai leading sector proyek ini.

Jika dikaitkan apakah layak dengan anggaran Rp340 miliar melakukan proyek itu, menurut Hakim, sangat layak. Sebab teleskop yang akan dibeli berukuran diameter besar, 3,8 meter yang ditempatkan di Obeservatorium Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Teleskop berdiameter 3,8 meter itu terbesar di Indonesia. Bahkan mungkin terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan yang teleskop yang dimiliki Thailand dengan ukuran 2,4 meter," tutur Hakim.

Jadi dengan setting programe approfied dengan teleskop 3,8 meter seperti itu, ungkap dia, sangat mungkin dicanangkan program untuk mencari kehidupan di planet lain. "Fokus riset ini menajamkan dan menelaah lebih dalam lagi 1 persen dari 4.000-5.000 planet extrasolar yang telah ditemukan tadi dengan teleskop 3,8 meter," ungkap dia.

Namun, jika menggunakan teknik transit, Lapan harus memiliki perangkat pendukung lain, yaitu spektograf beresolusi tinggi. Karena menggunakan teleskop saja tidak cukup. Harus ada instrumen canggih di belakang teleskop.

"Spektograf beresolusi tinggi ini untuk mengidenfikasi unsur-unsur kimia yang ada planet tersebut. Atau adakah atmosfer. Sebab ada juga planet yang tak memiliki atmosfer, seperti Merkurius. Di planet ini tidak ada kehidupan. Seperti kita tahu, unsur-unsur pendukung kehidupan kan air, atmosfer, dan unsur-unsur semacam itu," kata Hakim.

Di dunia, program mencari kehidupan di planet lain, kata Hakim, banyak dijalankan oleh negara-negara atau konsorsium yang memiliki teleskop besar. Prospeknya menjanjikan sebagai suatu terobosan.

SDM Astronom Peneliti di Indonesia Terbatas
"Namun sekali lagi, ilmuwan, astronom kita mesti cukup critical mass (kemampuannya) untuk bisa bersaing dengan negara lain. Itu justru yang mengkhawatirkan menurut saya karena jumlah astronom kita kan gak banyak," kata dia.

UU Antariksa RI, ujar Hakim, belum banyak mengangkat isu tentang pencetakan sumber daya manusia (SDM) yang tangggung jawabnya ada di perguruan tinggi. Bagaimanapun, program antariksa itu kuncinya ada pada SDM, bukan pada instrumen canggih.

"Secanggih apapun instrumen, kalau tidak didukung SDM yang punya orientasi kuat, dia hanya akan menjadi instrumen mahal, dipajang begitu saja, jadi monumen," ujar Hakim.

Di Indonesia, perguruan tinggi pencetak SDM astronomi, tutur dia, menyedihkan. Sampai beberapa puluh tahun hingga 2014, Indonesia baru punya satu program studi astronomi, yaitu di ITB.

Namun sejak 2014, ada program studi Science Atmosfer dan Keplanetan di Institut Teknologi Sumatera (Itera) Bandar Lampung, Provinsi Lampung. "Kebetulan saya membidani lahirnya program studi kedua setelah astronomi, yaitu Science Atmosfer dan Keplanetan di bawah rumpun ilmu keantariksaan," tutur dia.

Untuk negara seluas Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta, ungkap Hakim, jumlah astronom sangat kurang. Jika dibandingkan Jepang dengan jumlah penduduk 180 juta, memiliki 20.000 astronom.

Sedangkan Amerika Serikat mencapai 100.000 astronom dan ditambah astronom amatir yang mencapai 2 jutaan orang. Amerika Serikat memang negara yang memiliki kultur space exploration. Sedangkan Eropa tidak spesifik satu negara, tapi lebih memilih konsorsium dalam riset dan penjelajahan luar angkasa.

Sedangkan Indonesia, baru hitungan puluhan. Astronom aktif di Indonesia itu tidak lebih dari 50 orang. Karena memang penerimaan mahasiswa astronomi tidak banyak. Dalam setahun hanya 50 mahasasiwa.

Setelah lulus dan bekerja secara profisional dalam profesinya sebagai astronom yang linear, juga tidak banyak. Sebab bukan karena tidak ada minat tatapi lembaga keantariksaan di Indonesia memang belum banyak dikembangkan baik oleh pemerintah maupun sekstor swasta.

"Bagi Amerika, mereka memiliki spirit sebagai pioner. Mereka mencoba menjadi nomor satu dalam menjelajahi luar angkasa. Kemudian kita, lebih banyak memfollow up apa yang telah mereka lakukan," pungkas Hakim.


Editor : Agus Warsudi

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network